4.24.2008

Jahil Terhadap Dien Adalah Musuh Kita

Dienul Islam, sebelum memfardhukan syiar-syi’arnya lebih dulu memperbaiki bagian dalam (fikrah/hati) pemeluknya. Dienul Islam sebelum memperbaiki sisi luarnya (lahiriyah), lebih dulu memperhatikan akarnya. Rukun Islam dan syiar-syiarnya yang dhohir adalah tiang Islam seperti shalat yang difardhukan pada malam isra, 12 tahun setelah bi’tsah (masa kenabian), puasa setelah 15 tahun, zakat sesudah 15 tahun dan haji sesudah 23 tahun dari bi’tsah. Apa rahasia semua ini?


Beliau Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melakukan usaha yang sangat melelahkan dalam nenancapkan akar-akar (pondasi) keimanan, memperbaiki jiwa pemeluk Islam, mengkokohkan tauhid, menjelas-kan makna kalimat laailaha illallah, mempertautkan hati para shahabat dan mengukuhkan ikatan dengan Sang Penciptanya, dan memperbaiki bathiniyah mereka. Dan yang menciptakan fitrah ini mengetahui bahwa yang dhohir harus ditegakkan di atas yang bathin, syiar-syiar ibadah harus ditegakkan berdasarkan ilmu.

Suatu pelajaran berharga dari hikmah turunnya wahyu pertama adalah “IQRO”. Maka dari sini, jelaslah bahwa yang dida’wahkan oleh Islam yang pertama kali adalah belajar dan menyingkirkan kebodohan. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebodohan dan kezhaliman adalah pangkal dari segala keburukan”. Umar bin Khathab berkata: “Seseorang tidak bisa mengenal Islam apabila dia tidak mengerti jahiliyah”.

Wahai saudara-saudaraku ...
Perkataan ini berlaku untuk sejarah kapanpun dan manusia manapun. Sejauh mana kita mengenal jahiliyyah, sejauh itu pulalah kita mengenal Islam.
Kita dapat mengerti definisi jahiliyah dalam Al-Qur’an. Yang pertama kita harus tahu bahwa lafazh jahiliyah merupakan istilah Al-Qur’an. Semua istilah Al-Qur’an digunakan secara khusus, dengan menggunakan lafazh tertentu, yang dikhususkan dengan pengertian tertentu pula.

Sebagaimana lafazh Ash-shalat, Az zakat, Al-Iman, Al-Kufru dan lain-lain. Lafazh shalat menurut bahasa adalah doa, tetapi bila dalam Al-Qur’an disebut lafad Ash shalat, pikiran kita langsung faham bahwa shalat adalah melakukan gerakan tertentu, mengha-dap kibat, ada takbiratul ikhram, ruku’, sujud, hingga salam.

Demikian pula jahiliyah, Jahil menurut bahasa adalah lawan dari kata ilmu atau lawan dari kata sopan santun, tetapi apabila Al-Qur’an menyebutkan jahiliyah, maka jahiliyah tersebut bermakna tertentu. Antara lain:

§ Tidak mengetahui hakekat Uluhiyyah
Dan Kami seberangkan Bani Isra’il keseberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka. Bani Isra’il berkata: “Hai musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Allah)”. (QS. Al-A’raf:138)

§ Terjebak dalam perbuatan yang menyalahi perintah Allah dan yang diharamkanNya. “Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipudaya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33).

§ Berhias dan bertingkah laku menyalahi perintah Allah.
Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (QS. Al-Ahzab:33).

§ Berhukum dengan selain hukum yang ditetapkan Allah.
Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki. Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al-Maidah: 50).

Kondisi semacam ini banyak terjadi di perbagai belahan dunia Islam. Bahkan semangat di negeri ini untuk mendalami keduniaan mendapat perhatian besar dan digalakkan. Sebenarnya masing-masing kita bisa menggambarkan betapa ketidaktahuan umat Islam akan ajaran diennya dewasa ini telah sampai pada ‘titik’ yang sangat mengkhawatirkan. Padahal Allah Subhannahu wa Ta'ala telah mengecam manusia yang semacam ini dalam firmanNya:

Janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janjiNya. Tetapi kebanyakan menusia tidak mengerti, mereka (hanya) mengetahui secara lahir (saja) dari kehidupan dunia, mereka lalai terhadap akhirat. (QS. Ar Ruum: 6-7).

Imam Ibnu Katsir dalam menafsiri ayat yang ketujuh mengatakan: ”Maksudnya kebanyakan manusia seakan tidak punya ilmu kecuali ilmu dunia dengan segala ragamnya. Dalam masalah ini mereka cendekia tetapi mereka lalai (bodoh) terhadap perkara-perkara dien dan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di akherat. Mereka dalam hal ini bagai orang dungu yang tak punya nalar dan akal pikiran!”.

Demi Allah, wahai saudara-saudaraku ...
Kebodohan adalah sumber penyimpangan. Dapat kita ketahui tragedi penyimpangan dalam sejarah Islam.

Bila penyimpangan yang dilakukan Iblis merupakan penyim-pangan perdana dalam sejarah, maka penyimpangan yang dilakukan oleh kaum khawarij tercatat sebagai yang pertama dalam sejarah umat Nabi Muhammad.

Ketika itu Dzil Khuwaisharah At-Tamimi berkata kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: “Berbuat adillah hai Muhammad, sesungguhnya engkau tidak berbuat adil”.

Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam membagi ghanimah (rampasan perang) hunain kepada para sahabat yang ikut pada peristiwa peperangan hunain. Maka muncullah protes itu, sampai sahabat Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata: “Bagaimana kalau orang ini saya bunuh ya Rasulullah?”, lalu Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: “Dari jenis orang ini, akan muncul suatu kaum yang keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya…!”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Jelas bahwa protes yang semacam itu adalah penentangan terang-terangan terhadap Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang lahir dari sikap takabur dan mengikuti hawa nafsu serta kebodohan.

Telah kami sebutkan bahwa syi’ar-syi’ar ibadah harus ditegakkan berdasarkan ilmu, demikian pula amal harus didasari ilmu jika tidak akibatnya akan terjerumus ke dalam bid’ah, syirik yang akan membuat sia-sianya amal.

Berkata Fudhail bin Iyadh: “Sesungguhnya amal yang dikerjakan dengan ikhlas tetapi tidak benar tidak akan diterima begitu juga jika amal itu ikhlas namun tidak benar, ikhlas hendaklah amal itu hanya untuk Allah dan benar hendaklah tegak berdasarkan sunnah”.

Dari perkataan Fudhail bin Iyadh dapat kita jabarkan lagi, sesungguhnya ibadah (amal) dalam Islam mempunyai dua syarat mutlak untuk bisa diterima di sisi Allah azza wa jalla. Yang keduanya harus dipadukan tidak boleh diambil sebagian dan ditinggalkan sebagian. Adapun dua syarat yang dimaksud adalah:

§ Ikhlas ; adalah memfokuskan tujuan ibadah (amal) hanya kepada Allah semata tidak memalingkan kepada selainNya sekecil apapun. Syarat ini berkaitan erat dengan niat yaitu dorongan awal dari dikerjakannya semua amal.
Sesungguhnya setiap amal itu disesuaikan dengan niatnya dan setiap orang akan diganjar sesuai dengan niatnya pula. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

§ Mutaba’ah ; yaitu mengikuti sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Seseorang yang mau beramal dalam Islam harus menyelaraskan amalnya dengan sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Sebab jika tidak demikian akan menjerumuskan ke dalam kubangan bid’ah. Bid’ah adalah suatu cara dalam dien yang diciptakan untuk menandingi syari’at dengan maksud untuk dipraktekkan dalam ibadah.

Banyak sekali orang yang mengerjakan ibadah dengan ikhlas tetapi sungguh sayang mereka bodoh, tidak berilmu, tidak faham dengan sunnah sehingga sia-sia amalnya. Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu berkata:

قَصَمَ ظَهْرِيْ رَجُلاَنِ؛ عَالِمٌ مُتَهَتِّكٌ وَجَاهِلٌ مُتَنَسِّكٌ.

“Dua orang yang membuat lemah punggungku, orang berilmu yang merusak dan orang bodoh yang rajin beribadah.”

Akibat lain dari kebodohon terhadap dien adalah terperosok ke dalam penghambaan kepada selain Allah. Ketika Adi bin Hatim menghadap Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , di lehernya tergantung salib dari perak, kemudian Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membacakan ayat:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At-Taubah: 31)

Maka jawab Adi bin Hatim: “Sesungguhnya mereka tidak menyembahnya!” Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam : “Benar, tetapi sesungguhnya mereka mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram, lalu mereka mengikuti, itulah ibadah kepada mereka”. (HR. At-Tirmidzi).

Dari kisah ini nampak ketidaktahuan Adi bin Hatim tentang hakekat ibadah, Adi mengira bahwa ibadah hanya ruku’ dan sujud, tetapi dibantah oleh Rasulullah, bahwa ketaatan atas ketentuan selain yang diputuskan oleh Allah juga termasuk ibadah.

Berkata Imam Sufyan Ats Tsauri: “Bid’ah itu lebih dicintai iblis dari pada kemaksiatan, karena orang yang berbuat maksiat mempunyai keinginan untuk bertaubat dari nya.”

Sedang perbuatan bid’ah yang salah dianggap hasanah dan ibadah, mana mungkin orang ini bertaubat dari kesalahannya, kalau kesalahan itu dianggap hasanah. Sehingga ahlul bid’ah lebih dicintai oleh iblils la’natullah, naudzubillah. Orang seperti ini akan bertaubat bila diberi ilmu dan hidayah oleh Allah. Kita berdo’a semoga kita semua senantiasa ditunjuki ke jalan yang lurus.
Read More..

Mengingat Kematian

Tiada kata yang paling pantas kita senandungkan pada hari yang berbahagia ini melainkan kata-kata syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah mencurahkan kenikmatan- kepada kita sehingga kita berkumpul dalam majelis ini. Kita realisasikan rasa syukur kita dengan melakukan perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.

Kemudian tidak lupa kami wasiatkan kepada diri kami pribadi dan kepada jama’ah semuanya, marilah kita tingkatkan kualitas iman dan taqwa kita, karena keimanan dan ketaqwaan merupakan sebaik-baik bekal menuju akhirat nanti.

Kehidupan seseorang di dunia ini dimulai dengan dilahirkan-nya seseorang dari rahim ibunya. Kemudian setelah ia hidup beberapa lama, iapun akan menemui sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari, kenyataan sebuah kematian yang akan menjemput-nya.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:

“Tiap-tiap jiwa akan merasakan kematian dan sesungguhnya pada hari kiamatlah akan disempurnakan pahalamu, barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung dan kehidupan dunia hanyalah kehi-dupan yang memperdaya-kan”. (Ali-Imran: 185)

Ayat di atas adalah merupakan ayat yang agung yang apabila dibaca mata menjadi berkaca-kaca. Apabila didengar oleh hati maka ia menjadi gemetar. Dan apabila didengar oleh seseorang yang lalai maka akan membuat ia ingat bahwa dirinya pasti akan menemui kematian.

Memang perjalanan menuju akhirat merupakan suatu perjalanan yang panjang. Suatu perjalanan yang banyak aral dan cobaan, yang dalam menempuhnya kita memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Yaitu suatu perjalanan yang menentukan apakah kita termasuk penduduk surga atau neraka.

Perjalanan itu adalah kematian yang akan menjemput kita, yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kita dengan alam akhirat. Karena keagungan perjalanan ini, Rasulullah telah bersabda:

“Andai saja engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis”. (Mutafaq ‘Alaih)

Maksudnya apabila kita tahu hakekat kematian dan keadaan alam akhirat serta kejadian-kejadian di dalamnya niscaya kita akan ingat bahwa setelah kehidupan ini akan ada kehidupan lain yang lebih abadi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. (Al-A’la: 17).
Akan tetapi kadang kita lupa akan perjalanan itu dan lebih memilih kehidupan dunia yang tidak ada nilainya di sisi Allah.

Marilah kita siapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk menyempurnakan perjalanan itu, yaitu dengan melakukan ketaatan-ketaatan kepada Allah . Dan marilah kita perbanyak taubat dari segala dosa-dosa yang telah kita lakukan. Seorang penyair berkata:

Lakukanlah bagimu taubat yang penuh pengharapan. Sebelum kematian dan sebelum dikuncinya lisan. Cepatlah bertaubat sebelum jiwa ditutup. Taubat itu sempurna bagi pelaku kebajikan.

Allah Subhannahu wa Ta'ala’ berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya”. (At-Tahrim: 8)
Ingatlah wahai saudaraku.
Di kala kita merasakan pedihnya kematian maka Rasulullah sebagai makhluk yang paling dicintai oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala telah bersabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

“Tiada sesembahan yang haq melainkan Allah, sesungguhnya di dalam kematian terdapat rasa sakit”. (H.R. Bukhari)

Ingatlah di kala nyawa kita dicabut oleh malaikat maut. Nafas kita tersengal, mulut kita dikunci, anggota badan kita lemah, pintu taubat telah tertutup bagi kita. Di sekitar kita terdengar tangisan dan rintihan handai taulan yang kita tinggalkan. Pada saat itu tidak ada yang bisa menghindarkan kita dari sakaratul maut. Tiada daya dan usaha yang bisa menyelamatkan kita dari kematian. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. (Qaaf: 19)

Allah juga berfirman:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan-mu, kendatipun kamu berada di benteng yang kuat”. (An-Nisaa’: 78)

Cukuplah kematian sebagai nasehat, cukuplah kematian menjadi-kan hati bersedih, cukuplah kematian menjadikan air mata berlinang. Perpisahan dengan saudara tercinta. Penghalang segala kenikmatan dan pemutus segala cita-cita.

Marilah kita tanyakan kepada diri kita sendiri, kapan kita akan mati ? Di mana kita akan mati ?

Demi Allah, hanya Allah-lah yang mengetahui jawabannya, oleh karenanya marilah kita selalu bertaubat kepada Allah dan jangan kita menunda-nunda dengan kata nanti, nanti dan nanti.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejelekan lantaran kejahilannya, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima oleh Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejelekan (yang) hingga apabila datang kematian kepada seseorang di antara mereka, mereka berkata: Sesungguhnya aku bertaubat sekarang”. (An-Nisaa’: 17-18)


Marilah kita tanyakan kepada diri kita. apa yang menjadikan diri kita terperdaya dengan kehidupan dunia, padahal kita tahu akan meninggalkannya. Perlu kita ingat bahwa harta dan kekayaan dunia yang kita miliki tidak akan bisa kita bawa untuk menemui Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya amal shalihlah yang akan kita bawa nanti di kala kita menemui Allah.

Maka marilah kita tingkatkan amalan shaleh kita sebagai bekal nanti menuju akhirat yang abadi.

Marilah kita mencoba merenungi sisa-sisa umur kita, muhasabah pada diri kita masing-masing. Tentang masa muda kita, untuk apa kita pergunakan. Apakah untuk melaksanakan taat kepada Allah ataukah hanya bermain-main saja ? Tentang harta kita, dari mana kita peroleh, halalkah ia atau haram ? Dan untuk apa kita belanjakan, apakah untuk bersedekah ataukah hanya untuk berfoya-foya? Dan terus kita muhasabah terhadap diri kita dari hari-hari yang telah kita lalui.

Perlu kita ingat, umur kita semakin berkurang. Kematian pasti akan menjemput kita. Dosa terus bertambah. Lakukanlah taubat sebelum ajal menjemput kita. Waktu yang telah berlalu tidak akan kembali lagi.
Read More..

Musuh-musuh Manusia

Kita memahami, bahwa Allah Subhananhu wa Ta’ala menciptakan fitrah dalam diri manusia, yaitu dapat mengetahui dan mengenal kebenaran, serta menjauhi dan menghindari kebathilan. Namun bukan berarti bahwa mengamalkan al haq atau menghindari kebathilan adalah sesuatu yang mudah.

Ada beberapa rintangan dan hambatan yang menjadi ujian. Ada musuh yang selalu menghalangi dari jalan al haq. Dan sebaliknya ada musuh yang selalu berusaha membimbing ke arah yang bathil. Musuh-musuh ini memberikan gambaran tentang kebenaran dan kebathilan al haq, yang semestinya indah, menjanjikan kebaikan dan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, digambarkan oleh musuh manusia sebagai sesuatu yang menakutkan dan menyusahkan.

Sebaliknya yang bathil, yang mestinya menjijikkan dan berujung pada penderitaan, digambarkan oleh musuh manusia sebagai keindahan nan menyenangkan. Akhirnya banyak orang yang terpedaya, meninggalkan jalan yang benar dan mengikuti jalan yang bathil, iyadzan billah.

Karenanya, wahai saudara-saudaraku, rahimanillahu wa iyyakum ajma’in, kita perlu mengetahui musuh-musuh itu, agar dapat bersikap. Musuh tetaplah musuh, bukan sebagai teman, apalagi sebagai pembimbing. Siapakah musuh-musuh yang selalu berusaha mengajak manusia kepada perbuatan batil dan keliru?

Musuh yang pertama adalah setan. Berbagai macam cara ditempuh oleh setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kebathilan dan menghalangi manusia dari al haq (kebenaran). Dan setan ini sering berhasil menjadikan manusia sebagai pengikutnya. Hanya orang-orang ikhlas dalam ibadahnya yang selamat dari makar dan tipu daya setan. Hanya orang-orang yang beriman yang bisa menjadikan kita termasuk orang-orang beriman yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Di awal kitab Madarijus Salikin dan Al Bada-I, pada akhir pembahasan tafsir surat al Mu’awwidzatain (surat an Nas dan al Falaq), Ibnul Qayyim Rahimahullahu menyebutkan cara-cara dan tahapan setan dalam menghembuskan kejahatan dan tipuan kepada manusia.

Tahapan Pertama, setan mengajak manusia melakukan perbuatan kufur dan syirik, menentang Allah dan RasulNya. Inilah yang paling diinginkan oleh setan. Dengan cara ini, setan telah berhasil menyesatkan banyak orang. Dengan cara ini, manusia dijadikan sebagai tentara dan para abdinya. Jika setan putus asa dan tidak mampu menyeret manusia ke dalam perbuatan kufur, maka setan akan mencoba menggodanya dengan tahapan berikutnya.

Tahapan Kedua, yaitu setan mengajak manusia untuk mengamalkan perbuatan bid’ah dalam agama, baik bid’ah dalam masalah aqidah maupun amal perbuatan.
Bid’ah merupakan perbuatan dosa, yang pelakunya sulit diharapkan bertaubat. Setan memberi gambaran yang indah dalam benak manusia, bahwa apa yang dilakukan itu merupakan kebenaran, dan ahli bid’ah mempercayai bisikan setan ini. Karena anggapan yang baik atas perbuatan bid’ah, membuat pelakunya susah melepaskan diri dan bertaubat dari perbuatan yang dianggap baik ini, padahal sebenarnya menyesatkan.

Ketika berhasil menyeret seseorang ke dalam tahapan ini, maka setan akan merasa lega. Karena perbuatan bid’ah merupakan gerbang menuju kekufuran. Dan para pembuat bid’ah menjadi salah satu corong di antara propaganda iblis.

Jika setan tidak mampu menyeretnya ke dalam perbuatan bid’ah, maka dia akan menjebak dan menggiring manusia kepada tahapan ketiga, yaitu perbuatan dosa besar dengan berbagai macam variasinya.

Dosa-dosa besar ini juga merupakan gerbang menuju kekufuran. Setan berhasil menjerumuskan banyak orang ke dalam dosa besar. Manusia tenggelam dalam perbuatan maksiat, sehingga hatinya menjadi membatu, terhalang dari kebenaran. Kemudian setan menyebarkan berita tentang mereka ini di tengah masyarakat. Setan memanfaatkan tentara dan para abdinya untuk menyebarkan perbuatan dosa ini, terutama jika perbuatan dosa ini dilakukan oleh penguasa atau orang yang diidolakan. Tujuannya supaya perbuatan-perbuatan mereka dijadikan argumen.

Sebagai misal, yaitu makan riba, mendengarkan musik, menikmati alat-alat musik dan permainan, menyetujui perbuatan bersolek, membuka wajah dan ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan, loyal dan suka kepada orang-orang kafir, homoseks, meminum khamr, dan lain sebagainya.

Dalam tahapan ini, setan berhasil menyesatkan banyak orang. Banyak manusia terkubang dalam kemungkaran-kemungkaran. Setan menghiasi amal-amal para idola ini, sehingga mereka menjadi pioner yang mengajak ke perbuatan maksiat secara nyata, atau mungkin dengan ucapan.

Sedangkan orang yang tidak mampu digoda setan dan dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa-dosa besar, maka setan berusaha menyeretnya ke tahap keempat, yaitu melakukan dosa-dosa kecil, sebagai gerbang memasuki dosa-dosa besar. Dosa-dosa kecil ini terkadang dianggap remeh oleh manusia dan tidak peduli dengan pelakunya. Padahal dosa-dosa kecil itu menyeret untuk melakukan dosa berikutnya.

Diceritakan dalam sebuah hadits dari Sahl bin Sa’d, dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Jauhilah dosa-dosa kecil, karena jika dosa-dosa itu berkumpul pada diri seseorang akhirnya akan membuatnya binasa (celaka).

Maka tidak diragukan lagi, meremehkan perbuatan dosa kecil, bisa merubah dosa kecil menjadi besar. Sebagaimana perkataan ulama salaf, tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus-menerus, dan tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfar.

Sebagian yang lain mengatakan, janganlah kalian memandang kecil sebuah dosa, akan tetapi pandanglah keagungan Dzat yang kalian durhakai.
Jika setan merasa lemah and tidak mampu menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan-perbuatan dosa ini, maka setan menggoda manusia dengan tahapan kelima. Yaitu menyibukkan manusia dengan perkara-perkara mubah yang tidak mendatangkan pahala, dan juga tidak mengakibatkan dosa. Menyibukkan perkara-perkara mubah, berarti menyia-nyiakan waktu dan usia, tidak memanfaatkannya dengan kebaikan dan perbuatan shalih.

Betapa banyak manusia tertipu dengan perkara-perkara mubah, berlebih-lebihan dalam makanan, minum, rumah, pakaian. Demi keperluan ini, manusia telah menyia-nyiakan sejumlah harta, usia dan waktu, lalai dengan kebaikan, tidak berlomba-lomba dalam kebaikan. Sehingga, perbuatan mubah ini bisa menjadi penyebab seseorang lupa kepada akhirat, dan lupa melakukan persiapan untuk menyongsongnya.

Sedangkan manusia yang tidak bisa dijerumuskan dengan tahapan ini, maka setan akan mengganggunya dengan tahapan keenam, yaitu mengalihkan perhatian perhatian manusia dari amalan-amalan yang lebih baik kepada amalan yang dibawahnya. Sebagai misal, seseorang akan menggunakan harta untuk hal-hal yang bernilai baik tetapi kurang. Disibukkan dengan amalan-amalan marjuh (bernilai baik tetapi kurang), sehingga (salah satu wujudnya) mempelajari ilmu-ilmu yang tidak memiliki urgensitas dan kehilangan ilmu yang banyak.

Inilah tipu daya setan. Saat setan merasa lemah dan tidak mampu menjerat sebagian manusia dalam perangkap-perangkap ini, maka setan memberikan kuasa kepada wali-walinya dan para abdinya dari kalangan jin dan manusia, serta orang yang tertipu dengan bisikannya. Lalu mereka menghina orang-orang baik ini dengan tujuan menyakiti wali dan para kekasih Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menyiksanya dengan siksa yang buruk, seperti pembunuhan, pengusiran, penahanan, penyiksaan, penghinaan, pelecehan terhadap amalan-amalan orang-orang baik ini, sebagaimana kejadian yang dialami oleh para nabi Allah dan pengikutnya pada setiap waktu dan di semua tempat.

Semoga Allah melindungi kita dari semua makar dan tipu daya setan.

Musuh manusia yang kedua, adalah nafsu yang senantiasa mengajak kepada keburukan.

Hawa nafsu ini cenderung kepada kebathilan, menghalangi manusia agar tidak menerima kebenaran dan tidak mengamalkannya. Jika jiwa ini muthmainnah (tenang dalam kebenaran), lebih mengutamakan yang hak, maka dia akan membimbing manusia ke arah yang benar dan berjalan di atas jalan keselamatan.

Musuh manusia yang ketiga, adalah menjadikan hawa nafsu ini sebagai ilah, yaitu menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan selain Allah. Disebutkan dalam firman Allah:

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya (sesembahannya). Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (Qs. Al Furqan : 43).

Seseorang yang selalu memperturutkan segala keinginannya, ia tidak akan peduli dengan akibat buruknya. Dalam sebuah atsar diriwayatkan, di bawah kolong langit ini, tidak ada yang lebih jelek dibandingkan hawa nafsu yang diperturutkan.

Adapun musuh manusia yang keempat adalah gemerlap dunia, kenikmatan dan hiasannya. Keindahan dunia dan berbagai kenikmatan semunya, telah menipu banyak orang, membuat manusia lupa kepada tujuan hidupnya yang hakiki. Padahal kehidupan akhirat dan segala isinya jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan dunia yang fana. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedangkan apa yang disisi Allah, adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS al Qashash : 60)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

“Tetapi kamu (orang-orang) kafir lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (QS. Al A’la : 16-17).

Demikian beberapa musuh yang sering menghalangi manusia dari berbuat amal shalih. Semoga Allah melindungi kita semua dari semua makar dan tipu daya yang menyesatkan.
Jika musuh-musuh bisa menguasai diri seorang manusia, maka dampak yang terlihat adalah tidak semangat dalam melakukan ketaatan. Dan sebaliknya, ia justru semangat dan tidak takut melakukan perbuatan maksiat.
Meski begitu, Allah subhanahu wa ta’ala yang maha Rahim tidak membiarkan para hambaNya untuk menghadapi musuhnya seorang diri. Allah subhanahu wa ta’ala berjanji akan menolong manusia dalam menghadapi musuh-musuhnya ini. Allah memerintahkan kepada kita agar memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, serta memerintahkan manusia agar memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam melakukan amalan yang susah atau berat baginya.

Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan kepada para hambaNya agar ikhlas dalam melakukan ketaatan. Dengan demikian, dia akan termasuk hamba-hamba pilihan. Hamba-hamba yang ikhlas akan dibentengi Allah subhanahu wa ta’ala dari kekuasaan musuh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya hamba-hambaku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabb-mu sebagai Penjaga”. (QS. Al Isra’ : 65).

Semoga Allah senantiasa menolong kita dalam menghadapi godaan musuh-musuh, yang senantiasa menghalangi manusia dari jalan ketaatan. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang ikhlas, dan senantiasa mengikuti petunjuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Read More..