8.22.2010

Pendidikan Islam dan Pemberantasan Pengangguran

Pendidikan Islam pada saat sekarang ini tidak ubahnya seperti menara gading di tengah himpitan sosial masyarakat. Komunitas kampus dan sekolah seperti berjalan dalam dunia sendiri yang sesungguhnya sangat berbeda dengan dunia nyata tempat institusi itu berdiri. Tidak aneh jika kemudian para penuntut ilmu ini mengalami keraguan dalam menapak dunia nyata yang mesti dihadapi selepas meninggalkan kampus.
Pendidikan hanya menghasilkan jutaan penganggur. Kalimat yang begitu menusuk tapi kenyataannya sangat relevan dengan fakta. Jika kita cermati, ada ribuan bahkan jutaan sarjana kita yang tidak siap pakai. Juga terdapat ribuan sarjana ekonomi tapi tidak mampu mengeluarkan bangsa ini dari krisis moneter. Ada ratusan insinyur tapi tidak juga mampu melakukan modernisasi teknologi. Ada begitu banyak professor politik akan tetapi tidak mampu mengubah kondisi politik bangsa ini yang kian berantakan. Sungguh aneh memang, jumlah perguruan tinggi tidak berbanding lurus dengan penyelesaian permasalahan-permasalahan rakyat. Tahun 1999 misalnya, perguruan tinggi di Indonesia berjumlah sekitar 1400-an. Hampir disetiap kabupaten di pulau Jawa telah memiliki perguruan tinggi. Ironisnya, permasalahan negara ini dari tahun ke tahun juga semakin kronis, kemiskinan dan kebodohan terus bertambah.


Siswa dan mahasiswa sebagai insan terdidik, seakan-akan hidup dalam sebuah gua, terbebani dengan kurikulum, dan sistem pembelajaran yang mencekik. Tidak ada waktu walaupun sesaat untuk melihat apa yang sedang terjadi di dunia luar, bahkan tidak sempat untuk mengaitkan ilmu yang dipelajari dengan problem-problem yang dihadapi umatnya.

Politik Pendidikan Islam

Pendidikan dalam pandangan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai hamba Allah di muka bumi ini. Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hidup islami. Sehingga sangat disadari, bahwa pendidikan sangatlah penting, karena dari sanalah ditentukan kualitas sumber daya manusia sebuah masyarakat, bahkan peradaban. Dapat dikatakan, pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia dan dianggap sebagai bagian dari proses sosial.

Dalam perspektif Islam, pendidikan diarahkan sebagai terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian Islam yang tercermin dalam cara berpikir dan berperilaku yang berlandaskan pada ajaran Islam, memahami wawasan Islam dan menguasai ilmu kehidupan secara umum. Sumber daya manusia yang bermutu merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang maju. Sementara sumber daya manusia yang buruk secara pasti akan melahirkan masyarakat yang buruk pula. Negara dalam pandangan Islam semestinya bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan yang murah, bermutu, dan islami bagi seluruh rakyatnya. Maka, semestinya pendidikan harus ditempatkan sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat yang diberikan negara kepada rakyatnya.

Slogan sarjana sebagai agent of change merupakan simbol yang sangat akrab dalam dunia pendidikan. Hanya saja, suatu perubahan itu akan terjadi ke arah mana, akan sangat ditentukan oleh model sistem dan ideologi pendidikan yang digunakan. Ketidakpahaman terhadap tujuan sistem pendidikan dan karakter manusia yang dibentuk, justru hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error serta menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan. Masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai sekuleristik-meterialistik misalnya, hanya akan menghasilkan sumber daya manusia yang selalu berpikiran pada profit-oriented dan akan menjadi economic animal. Disamping itu, akan terjadi kebingungan dalam mempertautkan agama dengan pendidikan umum. Sementara itu, membiarkan pendidikan berkembang sebagai sebuah industri yang selalu menghitung cost and benefit sehingga cenderung kian mahal sebagaimana tampak dewasa ini, jelas bertentangan dengn prinsip pendidikan untuk seluruh rakyat sebagai public service karena pasti tidak semua rakyat mampu merasakan pendidikan sebagaimana mestinya.

Dua fenomena ganjilnya pendidikan pada saat ini dikarenakan, pertama, mahalnya biaya sekolah; kedua, secara mutlah telah dipengaruhi oleh sistem sekularistik-kapitalistik.

Menyatukan Iptek dan Kehidupan

Kemajuan peradaban Islam selama berabad-abad tidak lepas dari hebatnya pengaturan Daulah Islam dalam hal pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dari banyak sumber kepustakaan, kita bisa menyaksikan betapa banyak bukti-bukti historis kemajuan peradaban Islam saat itu, terutama ditinjau dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Keistimewaan pengaturan dunia pendidikan masa itu adalah suksesnya Islam menyatukan ilmu pengetahuan dengan realitas kehidupan. Para masa itu, tidak ada satupun ilmu yang dipelajari kecuali langsung bisa dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk kepentingan Islam. Keistimewaan berikutnya, akses rakyat terhadap fasilitas pendidikan sangatlah mudah karena Negara mengambil peran tunggal dalam mengurusi pendidikan umatnya.

Kunci Sukse Pendidikan Pada Masa Daulah Islamiyah

Pertama, paradigma yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam pada masa itu ialah, ilmu menjadi saudara iman, serta menuntut ilmu ialah ibadah dan salah satu jalan untuk mengenal Allah (makrifatullah). Paradigma ini terpancar dari akidah Islam yang merupakan visi hidup paling mendasar umat Islam, menggantikan paradigma jahiliyah serta Romawi, Persia, dan India kuno yang menjadikan ilmu sebagai satu kekuasaan untuk kasta tertentu. Bahkan Hunke menyebutkan “satu bangsa pergi sekolah” untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Orang-orang kaya pun antusias dan bangga jika dapat berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu pengetahuan dan pendidikan masyarakat. Pada prinsipnya, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan motivasi dan panduan, baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).

Ontologis berkaitan dengan masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari. Al-Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang memotivasi pembacanya untuk menyelidiki alam. Jadi secara ontologism, suatu ilmu dipelajari dalam rangka ibadah kepada Allah Ta’ala. Dalam kaidah ushul dikenal “maa laa yatim al wajiib illa bihi fahuwa wajiib” (apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan suatu kewajiban, maka hukumnya wajib pula). Ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan kuffar diperlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka berpacu dengan waktu untuk mempelajari teknik perkapalan navigasi, astronomi, dll. Dalam ontologi syariat ini, daulah dan kaum muslimin pada masa itu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian Iptek secara tepat sesuai ahkamul khamsah.

Epistemologi ialah berkaitan dengan metode bagaimana suatu ilmu dipelajari. Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syariat pun, kemudian suatu ilmu dipelajari adalah untuk diamalkan. Karenanya, eksperimen-eksperimen yang bertentangan dengan hukum syara’ seperti cloning manusia pastilah dilarang.

Sedangkan aksiologi adalah berkaitan bagaimana suatu ilmu diterapkan. Teknologi dan sains adalah netral, tergantung dari manusia yang menggunakannya. Para masyarakat Islam, penggunaan Iptek akan dibatasi oleh syariat. Teknologi hanya digunakan untuk memanusiakan manusia, menyelesaikan masalah-masalahnya, bukan untuk memperbudaknya. Teknologi dalam Negara Islam tidak akan dipakai untuk menjajah negeri lainnya, tetapi digunakan untuk menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.

Kedua, negara berperan dalam meletakkan asas akidah Islam sebagai penentu arah dan tujuan pendidikan secara makro. Akidah Islam adalah asas dalam konteks menjadikannya sebagai standar penilai apakah ilmu yang diambil itu bertentangan atau tidak dengan syariat. Dengan konsep tersebut, tujuan pendidikan Islam diorientasikan untuk melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam, menguasai wawasan islam dan menguasai ilmu-ilmu kehidupan.

Negara sebagai institusi yang paling memahami kebutuhan dan urusan-urusan rakyatnya seharusnya mengambil peran tunggal dan dominan dalam hal pendidikan serta dalam pengelolaan ilmu pengetahuan.

Islam juga mewajibkan para penguasa untuk membiayai pendidikan rakyatnya. Sebab dalam pandangan syariat, penguasa wajib untuk memelihara dan mengelola urusan-urusan rakyat termasuk dalam pendidikan dan pemberantasan kebodohan. Dan pendidikan diambil dari kas Baitul Mal. Ketetapan ini berdasarkan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah mengganti tebusan para tawanan perang Badar dengan keharusan mereka untuk masing-masing mengajar kaum muslimin baca-tulis. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, para guru yang mengajar juga mendapatkan gaji sebesar 15 dinar yang diambil dari Baitul Mal.

Lalu, apakah penghambat-penghambat dalam dunia pendidikan?

Pertama, jangan serahkan pendidikan ke tangan pasar.

Dunia pendidikan saat ini adalah lingkaran yang berisi aktor-aktor yang mengalami perubahan sosial besar. Perubahan itu terbentuk dari tatanan global yang juga sedang mengalami transformasi raksasa. Dunia harus sujud pada gagasan demokrasi liberal yang kini mengusai seluruh aspek kehidupan. Falsafah ini mempunyai sejumlah dogma yang menjadi kepercayaan dasarnya. Pertama, semua negara harus mengadopsi sistem ekonomi liberal, dengan slogan perdagangan bebasnya. Kedua, melakukan privatisasi terhadap seluruh sektor publik. Ketiga, menempatkan negara sebagai penjamin bagi kelangsuangan sistem ekonomi pasar.

Dampak nyata dalam dunia pendidikan, pertama ialah privatisasi mengharuskan pendidikan bukan lagi milik publik, melainkan milik lapisan sosial tertentu. Walaupun kenyataannya, memang mayoritas negara-negara maju, perguruan tingginya memiliki status sebagai badan hukum yang mandiri. Di Amerika Serikat misalnya, perguruan tinggi negeri didirikan dengan undang-undang negara bagian. Di Inggris, perguruan tinggi negeri didirikan atas dasar dekrit dari ratu sebagai penguasa tertinggi.

Kedua, hubungan maupun ruang lingkup ilmu pengetahuan terus menerus dinilai berdasarkan nilai ekonomi. Kegagalan maupun keberhasilan masing-masing bidang ilmu akan selalu diukur dengan kategori ekonomi. Jika banyak lulusan yang menjadi pengangguran, maka pertanyaannya bukan pada metodologi atau pengajarannya, melainkan apakah ilmu ini memiliki efek material atau tidak.

Dua Kesalahan Fatal

Pertama, Paradigma Pendidikan Sekularistik-Materialistik

Letak kesalahan terbesar justru ada pada asas pendidikan itu sendiri yaitu sekulerisme, yang mengharuskan standar manfaat dalam praktek pendidikan dan pemanfaatan Iptek.

Agama dan iptek sama sekali terpisahkan baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Sehingga struktur ilmu pengetahuan pun akhirnya disusun berdasar asas kemanfaatan semata. Akhirnya, sains dan teknologi hanya menjadi alat untuk saling menguasai, komoditi serta menjadikan pendidikan semakin eksklusif bagi masyarakat.

Kedua, Negara berlepas tangan dalam pengelolaan pendidikan

Karena faktor inilah, biaya pendidikan menjadi semakin tidak terkendali. Kapitalisasi dengan deras masuk ke dalam sendi-sendi pendidikan. Akibatnya, tidak ada peran negara, dan absennya para penguasa pada hajat hidup rakyat akan ilmu pengetahuan.

Kesimpulan

Beberapa uraian diatas dapat dijelaskan kepada kita bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang esensial dalam Islam. Oleh karena itu, perkembangan pendidikan berbanding lurus dengan perkembangan Islam itu sendiri. Konsep pendidikan islam yang sangat koheren dengan nash, maka secara otomatis mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menimpa manusia.

Wacana pendidikan dalam tinjauan sejarah telah memperlihatkan bentuk praktis pelaksanaannya sebagai manifestasi dari konsep filosofis yang diinterpretasikan manusia dari nilai-nilai yang paling dianggap mendasar dari sebuah peradaban dan kemajuan.

Ketidakmampuan pendidikan baik sebagai lembaga maupun konsep yang dijalankan, setidak-tidaknya berkaitan dengan tidak diakomodasinya beberapa prinsip pembebasan yang justru menjadi kekuatan ampuh bagi keunggulan Islam pada peradaban klasik.

Sepatutnya, para sarjana tidak hanya mampu menjawab persoalan bangsa, akan tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Studi yang dilakukan Denison (1962), menyebutkan bahwa peningkatan jumlah kelulusan perguruan tinggi di Amerika serikat selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan perkapita Negara itu sebesar 42 persen.

Maka berbagai upaya diperlukan agar keberadaan perguruan tinggi selaras dengan tuntutan kebutuhan untuk menjawab persoalan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski disadari bahwa pemerintah kini tengah disibukkan dalam kegiatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar, namun sebaiknya tidak melupakan perbaikan kualitas pendidikan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Eko Prasetyo. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Insist Press. 2004

Fahmi Amhar. Bukti-Bukti Historis Kemajuan Peradaban Islam. Al-Wa’ie no. 55. Maret 2005

Hafids Abdurrahman. Membangun Kepribadian Pendidik Umat. Wadi Press. 2005

Sigrid Hunke. Allah’s Sonne Ueber Abendland. Frankfurt. Fischer. 1990

Toto Suharto, dkk. Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam. Global Pustaka Utama Yogyakarta. 2005

Kompas. 2 April 2005

0 komentar:

Posting Komentar